Kamis, 07 Februari 2013

Gonggang, Suku Asli di Pedalaman Tasik Serai Pinggir


Suku Gonggang adalah suku yang berdiam di Dusun Bagan Benio, Kelurahan Tasik Serai, Kecamatan Pinggir dan berada dalam zona penyangga Cagar Alam Biosfer Giam Siak Kecil. Suku ini bermukim di 3 dusun, yaitu dusun Bagan Benio, Pulai Bungkuk dan Bagan Belado. Dusun Bagan Benio merupakan pemukiman utama suku Gonggang. Di tempat ini selain suku Gonggang, juga terdapat satu suku lagi yang hidup berdampingan dengan suku Gonggang, yaitu suku Pandan. Populasi penduduk di 3 dusun ini adalah sebesar 260 orang. 

Suku ini termasuk suku bangsa Melayu. Masyarakat suku Gonggang masih memegang teguh adat Melayu Siak. Kehidupan mereka sangat sederhana, dan mereka tidak memiliki fasilitas kesehatan. Apabila ada anggota masyarakat yang sakit, mereka hanya mengandalkan dukun kampung. Kalaupun ingin berobat, mereka berobat di atas pompong, dan menunggu datangnya mantri di pinggir tasik. Suku Gonggang bertahan hidup dengan berladang pada tanaman karet. Selain itu mereka juga mencari ikan di sungai dan di rawa untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka


Kehidupan yang terisolir 

Tanggal 26 Mei 2009, di ruang sidang ke-21 International Co-ordinating Council of the Man And the Biosphere Programme (ICC/MAB) – UNESCO di Kal Jeju Hotel, Jeju, Korea Selatan Giam Siak Kecil Bukit Batu (GSK-BB) ditetapkan sebagai Cagar Biosfer ke-7 di Indonesia dan yang ke 564 di dunia. Hal ini membanggakan bagi pemerintah Riau, yang mendapat pengakuan dunia. Tapi hal ini justru menjadi malapetakan bagi masyarakat suku Gonggang.


Menurut masyarat suku Gonggang, mereka pernah didatangi oleh aparat kehutanan, yang mengatakan dusun mereka Bagan Benio masuk kawasan hutan lindung. Mereka dilarang melakukan aktivitas apapun di hutan wilayah ini. Sehingga masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, layaknya margasatwa yang dilindungi. Anehnya, kami tak melihat "hutan" nya lagi, yang tinggal hanya "lindung"nya," kata mereka.

Akibat larangan tersebut, dusun-dusun suku Gonggang dan suku Pandan, menjadi terisolir, terasing dan terpencil, dari peradaban modern. Sehingga kampung itu berdiri tahun 1937 ini, membuat warganya tidak pernah melihat mobil, semen, jalan aspal dan berbagai hal yang berhubungan dengan dunia luar. Mereka hanya mengenal sampan, pompong, jalan hutan dan jalan setapak. Nyaris 75 tahun terisolir lantaran tak ada izin membangun jalan.

“Kampung ini pernah didatangi oleh aparat kehutanan. Katanya Bagan Benio masuk kawasan lindung. Masyarakat dilarang melakukan aktivitas apapun yang merusak lingkungan,” kenang ayah dua anak ini saat berbincang dengan katakabar.com di kediamannya Dusun Bagan Benio, Minggu akhir tahun lalu.

Lantaran larangan itu, "Masyarakat tidak lagi bisa berbuat apa-apa, layaknya margasatwa yang dilindungi. Anehnya, kami tak melihat hutannya lagi, yang tinggal hanya "lindung"nya," kata ketua RT 01 ini mulai kesal.

Akibatnya program pembangunan jalan sepanjang 300 meter yang dibikin oleh Pemerintah Kabupaten Bengkalis untuk menghubungkan jalan Gajah Mada ujung ---- jalan tembus yang berpangkal dari lintas Pekanbaru-Dumai --- dengan bibir dermaga menuju kampung, urung terlaksana. Pembangunan terganjal izin kehutanan.

Padahal pembangunan jalan tadi satu-satunya cara untuk mengeluarkan masyarakat dusun dari keterisoliran. Jalan tak jadi dibangun, maka tetap saja warga dari Siak Kecil, Kecamatan Siak Kecil  Kabupaten Bengkalis, yang masih datang menyusuri Sungai Siak Kecil naik pompong --- perahu bermesin temple --- untuk berjualan barang harian ke bibir kampung.

Beras yang biasanya dijual di pasaran Rp 7000, maka di pompong ini menjadi Rp 14 ribu. Bahan Bakar Minyak semacam premium atau solar, dijual Rp 10 ribu hingga Rp 12 ribu per liter. “Sementara hasil panen pohon karet kami, terpaksa kami jual murah. Kalau harga normal Rp 12 ribu, kami hanya bisa mendapat Rp 9 ribu,” kata Kepala Dusun Bagan Benio, Joharis 41 tahun.

Jadi jangan heran bila sejak kampung itu berdiri tahun 1937 silam, warga belum mengenal yang namanya mobil, semenisasi, apalagi jalan aspal. Mereka cuma hapal sampan, pompong, liku jalan hutan dan jalan setapak.
  

Berharap Dukun Kampung

Lantaran terisolirnya, tak ada klinik atau puskemas di dusun yang punya tiga banjar ini. Kalau pun ada mantri, itu juga mantri swasta yang datang dari pusat desa Tasik Serai. Si mantri mengobati warga di atas pompong --- sampan bermesin tempel --- yang ditambatkan di bibir tasik.

Anehnya, meski tak ada klinik atau puskesmas tadi, angka kematian bayi di dusun yang berdiri tahun 1937 ini sangat rendah. Padahal, ibu-ibu yang melahirkan cuma ditolong oleh dukun kampung. Kemudian, nyaris anak-anak tak pernah ikut Posyandu.

Untuk memeriksakan kehamilan, ibu-ibu barulah mengandalkan kedatangan mantri swasta tadi, yang datang tak punya jadwal tetap. "Mantri tidak rutin dan terjadwal datang mengobati warga. Jika dibutuhkan, dipanggil dulu baru datang." kata Kepala Dusun Bagan Benio, Joharis 41 tahun kepada katakabar.com

Kalau anak-anak dan orang tua sakit ringan semacam pilek, batuk dan demam mantri mereka tidak perlu memanggil mantri. Cukup berobat kepada dukun kampung saja. Ancak, menjadi sebuah nama prosesi pengobatan segala jenis penyakit dan mengusir roh jahat yang membawa penyakit kepada warga yang sakit. Ancak istilah Suku Pandan dan Gonggang yang asli suku Melayu Siak itu, hampir mirip dengan sesaji tradisi Jawa kuno.

Warga dusun berharap kepada Pemerintah supaya membikin program kesehatan kepada masyarakat di dusun itu. "Tolonglah bangun puskesmas pembantu, dan tugaskan pegawai kesehatan dan bidan untuk memberikan penyuluhan kepada warga, supaya kami tahu seperti apa pola hidup sehat," harap Joharis. (adm-iD)

sumber:


Related posts

Description: Gonggang, Suku Asli di Pedalaman Tasik Serai Pinggir Rating: 4.5 Reviewer: @info_DURI ItemReviewed: Gonggang, Suku Asli di Pedalaman Tasik Serai Pinggir
Citra Fauzan
Citra Fauzan Updated at: 12.55